Kamis, 16 Mei 2013

Perjalanan Karir Mario Balotelli Hingga Membela AC Milan


 Balotelli: "Tidak Aada Berandal yang Berulah Di Rumah."


Pemuda bertato dengan langkah gontai mematikan rokok dan melepas pearching di depan rumah.
Masih terngiang suara teriakan polisi dan raungan musik cadas ketika ia mengetuk pintu,
masuk, dan memberi salam kepada ibunya.
Segera ia lepaskan tas berisi linggis, palu, dan botol ciu,
lalu bergegas mengajak orang tua dan adik-adiknya beribadah bersama.

Well,
tentunya dengan sedikit fiksi,
seorang pria asal Ghana di Italia sana memiliki kisah yang hampir sama.
Si berandal, Mario Barwuah Balotelli mudik ke Milan awal tahun ini, berbekal banyak cerita dan kontroversi yang dibawa dari Negeri Ratu Elisabeth plus sumbangan assist yang berbuah trofi EPL terdramatis dalam sejarah sepakbola.
Sosoknya yang sinis, sangar, dan susah diatur menimbulkan paranoid berlebih akan terulangnya memori buruk musim terakhirnya di Etihad.
Tetapi tahan dulu komentar anda, bung..
Kali ini Balo berada di rumah.



Inter adalah awal dari kecemerlangan karirnya.
Balo dibawa ke tim utama oleh 'sang ayah' Roberto Mancini dan langsung mencuri perhatian dengan skill set nya yang komplit.
Cepat, visioner, kuat, dan jago dalam bola-bola mati.
Mario bahkan ikut membawa La Beneamata mengukir sejarah, Treble Winner yang menjadi senjata andalan para Interisti ketika mereka terdesak dalam ajang ceng-cengan dengan para tifosi lain.
Namun kemenangan tak menjamin kiprah Mario di Appiano Gentile.
Hubungan tak mesra nya dengan Jose Mourinho dan keusilannya memakai jersey Milan dalam sebuah acara televisi di Italia membuat Interisti meradang dan men-cap nya kafir.
Disaat Mario terjatuh, tak bisa bangkit lagi, dan tenggelam dalam lautan luka dalam,
'sang ayah' pun mengajaknya ke Inggris untuk bergabung dalam proyek besar taipan minyak arab di Manchester.



Mario datang, Mario berulah, Mario menang.
Sang bintang menancapkan tonggak kokoh di dua musim pertamanya di Inggris,
di dalam maupun di luar lapangan.
Permainan cantik di karpet hijau dibarengi dengan tingkah eksentrik nan nyeleneh seperti membakar kembang api di dalam rumah,
model rambut yang mirip topping cupcake,
gatal-gatal karena alergi rumput,
ketidakmampuannya memakai rompi latihan dengan benar,
frasa tenar "Why Always Me?" yang tertempel sinis di baseleyernya kala menggulung si tetangga yang sombong,
hingga mengecat mobil bentley mewah nya dengan corak tentara.
Begitu cepatnya ia menjadi pujaan warga Manchester,
bahkan saya hampir memotong bawang imajiner ketika menyaksikan Liam Gallagher begitu mengaguminya dalam sebuah wawancara.

Sayang,
Mario tidak sebahagia dulu pasca penampilan hebat nya pada Piala Eropa 2012.
Tanda-tanda keretakan itu mulai muncul ketika ia menyia-nyiakan peluang emas dengan backheel yang mengundang tawa dalam laga persahabatan di USA.
Emosinya yang meledak-ledak bahkan membuat Mourinho melabelinya sebagai pemain yang tidak manage-able.
Sejak saat itu Mario bergabung dengan Jack Rodwell di bangku cadangan.

Keadaan Mario dipahami betul oleh si botak licik berdasi kuning bernama Adriano Galliani.
Dengan hanya bermodal kegigihan saja,
sang Einstein of Mercato berhasil membawanya pulang dengan nilai €20 juta,
sangat jauh dari bandrol awal City sebesar €37 juta.
Saya sendiri tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi Mario Balotelli setelah resmi memakai warna yang selama ini tersembunyi di balik kaos kakinya, disambut antusiasme ribuan fans, bahkan disajikan roti tart dengan citra dirinya.
Sejumlah pihak meragukan emosi dan gaya hidup eksentrik nya yang akan mempengaruhi performanya di lapangan.
Namun sebaliknya,
Mario justru menampilkan gambaran anak rumahan ketika seorang pemain Parma bernama Andrea Coda yang sepertinya sudah bosan hidup,
mencoba memancing emosi Mario dengan memukul kepalanya.
Jurnalis twitter pun sudah memprediksi bahwa Mario akan kehilangan kendali dan membalas perlakuan Coda dengan menebas otak nya hingga berceceran,
dan mereka salah.
Mario membalas perlakuan sinting Coda dengan sebuah gol kemenangan, membuka tangannya lebar-lebar seakan ingin memeluk keluarga besarnya di San Siro yang tak henti meregang otot leher demi meneriakkan namanya.



Tak ada lagi Mario yang berandal,
sekalipun kakinya terus menerus dihajar 4 pemuda naif dari Ennio Tardini yang tampaknya sudah tidak ingin berulang tahun.
Mario datang dengan niat untuk menyempurnakan karir nya,
se-sempurna hubungan intimnya dengan titik penalty.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar